Surat Cinta untuk Sang Mahacinta
Bicara
tentang cinta adalah hal paling diminati tiap remaja dan tak ku pungkiri, aku
adalah salah satu di antaranya. Cinta, teman-temanku kebanyakan menyebutnya
adalah sebuah keindahan dengan rasa yang unik yang Tuhan anugerahkan kepada
tiap hamba-hamba-Nya, tapi tak jarang pula ada yang beranggapan cinta adalah
satu kata yang membuat hidup mereka penuh derita. Ah, sejenak aku menghembuskan
nafas dan berbisik pada hati untuk mendefinisikan cinta itu secara logikaku.
Ya, aku dapati makna cinta, satu rasa yang terasa namun tak terlihat, yang
memberi motivasi untuk melakukan apa saja, asal yang di cintai bisa bahagia
karena kita, tak mengenal baik atau buruknya jika landasannya adalah nafsu
belaka. Ini definisi cinta kepada lawan jenis yang aku logikakan dengan
landasan fenomena zaman sekarang.
Namun
cinta yang aku miliki dahulu, tidak seperti yang aku logikakan, tetapi malah mengajarkanku
tentang sebuah keikhlasan, pengorbanan dan kebijaksanaan dalam menentukan
keputusan. Keputusan yang akhirnya membawa
sang gadis kecil ini mengerti tentang aplikasi dari rasa cinta dan
mengambil keputusan untuk memberikan besar cintanya hanya kepada sang Mahacinta,
sehingga dia berani menentukan jalan hidupnya untuk tidak lagi mau mengenal
–pacaran- sebelum menikah. J
Malam ini, aku mencoba
mengingat-ingat kejadian tentang cinta itu sendiri yang aku alami kurang lebih
1 tahun yang lalu yang ceritanya cukup membuatku mengerti, mengapa Dia
menitipkan rasa kecewa dan rasa sakit yang amat dalam pada hati sang makhluk
kecil-Nya yang sedang beranjak usia ke-17 tahun. Inilah mengapa Dia menitipkan
rasa sakir itu.
“Putri” panggil aku
dengan sebutan ini! J
“Manis.”
Gumamku dalam hati setelah melihat seorang cowok yang tinggi, kurus, kelihatan
keren dengan kemeja iris-iris yang di kenakannya mulai memasuki kelas bimbel
kami.
“Lihatin
siapa hayooo?” tanya teman disebelahku.
“Hah?”
dengan polosnya aku tersadar karena si kawan tiba-tiba mengagetkan lamunanku.
“Jaga
mata, Put!” ingatnya padaku.
“Hehe,
manis sih. Ramah juga deh kayaknya.” Jawabku dengan senyum simpul sembari mata
masih sedikit curi-curi pandang kepadanya.
Setelah dia masuk, pelajaran bimbel dimulai dan pulang.
Bertemu dengan cowok cakep yang manis dan berwajah ramah membuat bimbel di hari
pertama mengasyikkan, apalagi tahu kalau bakal satu kelas terus sampai dengan
SNMPTN diadakan. J
“Cinta
pada pandangan pertama?” gumamku dalam hati (lagi) saat meletakkan tas dan
beranjak untuk memanjakan diri sejenak di kasur. Hah, terlampau cepat bahkan
itu adalah hal konyol dan tidak masuk akal bila jatuh cinta hanya karena
pandangan pertama yang meneduhkan mata.
“Cinta
tak segampang karena tatapan saja, Putri.” Lagi dan lagi bisikan itu muncul
dari hati.
Aku
kembali heran kalau sudah begini rasanya. Apa iya ini rasa cinta? Karena kan
biasanya, seseorang menaruh suka, sayang, apalagi sampai cinta sebab sudah
mengetahui sifat-sifatnya dan sudah saling kenal, nah aku? Yang aku rasakan
sama sekali bukan karena saling kenal, malah tahu nama saja pun tidak.
Hari-hari aku jalani tetap dengan
rasa yang aneh, jantung berdetak kencang ketika melihat dia, lebih kencang lagi
kalau berselisih jalan, lebih akan kencang lagi kalau bersebelahan dengannya.
Oh Tuhan, rasa apa ini? Tidak, ini hanya rasa kagum semata tanpa harus ada
keinginan memiliki. Sudah cukup, cukup karena mencintai, aku jadi makhluk
terlebay yang sok puitis dengan kata-kata cinta yang aku rangkai. Hehe J
Sampai pada hari dimana aku bisa
mengetahui siapa namanya, apa nama FB nya dan dimana dia tinggal serta dimana
dia sekolah. Ya, informasi itu, aku dapat dari banyak temanku yang satu persatu
mendukungku untuk lebih dekat dengan sosok si “manis” berwajah teduh itu.
Hihihi.. :D
“Namanya -Wan Aprilio Ar-Rizky- biasa dia di panggil Kiky, Wan, dan bisa juga Rizky. Dia sekolah di SMA Nusantara, kelas XII Ipa 2, suka musik, jago bahasa inggris bahkan sedang mengajar bimbel anak-anak SD sampai SMP di Bimbingan Belajar Gadjah Mada di selang kesibukan sekolah dan juga bimbelnya sendiri, terus dia itu lagi les piano, ngefans sama Kevin Vierra, suka becanda, dan ramah.” Sekilas info dari temanku yang ternyata temannya teman aku adalah sespupunya yang bersangkutan. Bingungkan? :p hehe
Akhirnya, akibat kejahilan sahabat
sebangkuku di kelas dan teman-temanku, aku mengenalnya lebih dekat, sering
telfonan dengannya hampir tiap malam dengan topik yang berbeda-beda, tapi saat
itu dia tidak mengenal siapa aku dan bagaimana rupaku. Dengan kata lain, dia
belum pernah melihat bagaimana sosokku secara langsung, tanpa dia sadar selama
ini kami sudah saling bertemu, tapi dia tak pernah memperhatikan siapa yang
selama ini memperhatikannya. Ya, aku mencintainya dengan diam-diam. J
“Bagaimana
PDKT nya sama Wan, Put?” tanya Nisa (baca= sahabat sebangkuku dikelas)
“Menurut
kamu?” jawabku sembari memperlihatkan senyum lebarku.
“Cieee,
tadi malam masih telfonan juga kah?”
“Masih
dong, dan tahu nggak? Ternyata kami itu selain hampir memiliki kesamaan di
nama, kami juga sama-sama anak pertama. Dia anak cowok satu-satunya dari 3 bersaudara
sementara aku anak cewek satu-satunya pun dari 3 bersaudara.” Jelasku dengan
penuh semangat.
“Cie
cie cieee.” Satu gengku serempak mengejekku dan aku cuma bisa mesem-mesem nggak
jelas.. hehe.. Ya, aku punya geng atau bisa di bilang para sahabat yang
berjumlah 9 orang, yang semua adalah cewek. Satu sahabat yang paling dekat
denganku adalah sebangkuku. Sahabat yang mencomblangiku agar dekat dengan si
Wan.
Waktu berjalan dengan indahnya
sehingga aku larut dalam rasa yang sebenarnya aku membenci rasa itu, kalian
tahu? Rasa cinta yang bisa dengan mudahnya mengikis rasa cintaku kepada Allah.
Waktu itu, kerap kali hatiku berkata aku mencintanya karena Allah, tapi pada
akhirnya dia yang aku cintai, begitu saja menghilang tanpa alasan yang aku
tidak tahu pasti karena apa dan yang pada akhirnya aku harus mengakui bahwa aku
mencintai orang yang salah dan mengambil pelajaran, bahwa Allah menitipkan rasa
cintaku untuknya, semata-mata adalah agar mata dan hatiku terbuka lebar untuk
menyadari betapa salahnya aku jika melampiaskan cinta dengan berharap menjadi
pacarnya atau betapa sangat bodoh jika masih mencintainya dan berharap dia
membalas rasa cintaku yang akhirnya aku menelan pil pahit setelah tahu, bahwa
rasa cintanya ternyata untuk orang yang selama ini aku percaya. Kalian tahu
siapa yang aku maksud bukan? J
Aku masih mengingat tepat hari apa
mereka bertemu tanpa sepengetahuanku, meskipun aku memang bukan siapa-siapanya
Wan yang harus tahu dia sedang bertemu dengan siapa dan dimana. Hingga satu
kalimat kejujuran terucap dari bibir manisnya sahabatku (yang aku percayai
selama ini) dikeesokkan harinya di kelas, “Aku kemarin ketemuan sama Wan, Put.
Kami ngobrol bareng tentangmu loh.” Ungkapnya.
“Oh
ya?” responku dengan bibir senyum sedikit terpaksa saat itu meskipun ada
embel-embel ngobrol tentangku.
Yang pada saat sebelum
Wan bertemu denganku, ternyata dia bertemu dengan sahabatku terlebih dahulu. Dan
disinilah kedekatan mereka semakin dekat dan rasa cinta antara mereka bermula. Tepatnya
hari jum’at sepulang sekolah. Nyesek, benar-benar nyesek yang aku rasakan saat
itu, cemburu, sakit, kecewa, meskipun iya belum ada hubungan pacaran di antara
aku dan Wan. Aku memang tidak berhak memiliki rasa cemburu, tapi aku takut jika
ketakutanku selama ini menjadi kenyataan yang sudah pasti kalau jadi nyata akan
terasa sakit sekali rasanya. Tiba-tiba suara hati itu muncul dan bertanya lagi,
“Bukankah awalnya kamu berkata mencintai Wan karena Allah, Putri? Maka meskipun
sakit yang terasa, ikhlaskanlah dan tersenyumlah karena Allah sayang kepadamu
dan Dia tak mau kamu menduakannya dengan terus mencintai orang yang salah.” Aku
mendadak badmood dan dari hari itu aku menjadi sosok yang lain, yang awalnya
ramah menjadi pemurung, yang ceria menjadi pendiam dan yang suka becanda
menjadi sensitif. Persahabatan yang hampir terjalin 2 tahun itu terasa mulai
hilang keharmonisannya, mulai dari cacian sahabatku di jejaring sosial karena
menganggap aku menjelekkan namanya di depan teman-temannya sebab kedekatannya
dengan Wan, sampai dengan tak saling bertegur sapa meskipun kami sebangku yang
berjalan hampir 1 bulan lamanya. Sampai pada suatu hati aku memulai untuk
berbicara dengannya, tepat di depan mushola dan aku masih mengingat apa yang
aku katakan padanya dulu. “Masih kekeh dengan keadaan ini? Nggak capek
terus-terusan diam karena hal sepele, nis?” tanyaku dengan wajah sedikit
menyesal. Aku lantas menjelaskan kesalahpahaman dia terhadapku dan meluruskan
semua permasalahan hingga dengan mudahnya dia mencaci maki aku di status
facebooknya, yang mengatakan aku munafik, aku ingin menjelekkannya, aku sok
alim, aku sok tegar dan segala macamnya. Setelah aku selesai menjelaskan
semuanya, dia memelukku dan meminta maaf karena sudah memaki-maki sampai
memblokir aku dari pertemanan facebooknya.
“Aku
mau cerita sama kamu, tapi jangan kecewa ya, Put.” Ujar Qeyzz (teman segengku)
“Bilang
aja, isnyaAllah aku siap mendengarnya.” Jawabku sedikit tersenyum. Yang sebelum
dia bercerita, perasaan tidak enak dan dugaan cerita yang akan di sampaikannya
adalah tentang kedekatan Wan dengan Nisa dibelakangku.
“Kemarin,
aku lihat Wan sama Nisa boncengan lewat Nusantara nggak tahu mau kemana.”
Aku
terdiam, ingin meneteskan air mata namun tertahan karena malu. Yang terbesit
dalam hati hanya kalimat, “Kan, benar apa dugaanku.”
“Oh,
mungkin ada keperluan apa gitu sampai si Nisa jalan bareng Wan.” Jawabku dengan
nada sedikit melemah dan berusaha tetap mengontrol diri dengan berpositif thinking.
Selang beberapa menit aku menghampiri Nisa dan memberanikan diri menanyakan
kabar yang dibawa Qeyzz.
“Kemarin
jalan bareng Wan ya, Nis?”
“Hah?”
dengan sedikit terkejut kemudian dia menjawab “Iya, put.” Dengan wajah datar.
“Ada
keperluan apa? Hayoooo, jangan-jangan kaliaaann?” aku menyimpan rasa kecewaku.
“Haha,
nggak kok, kemarin aku minta temenin dia, buat ngantar aku ke tempat servis
laptop karena laptop aku rusak.”
“Ooo.” Responku dengan
senyum simpul. Padahal jauh di dalam hati aku bertanya, dari begitu banyak
teman cowok yang dia kenal, kenapa harus Wan yang di mintanya untuk menemani
mencari tempat servis laptop? Dia punya banyak teman cowok yang hampir semuanya
menyukainya karena dia berparas lebih cantik daripada aku, tapi kenapa harus
dengan Wan? Aku semakin kecewa.
Sebulan kemudian, sampai suatu hari
pertemuan yang tidak aku pikirkan sebelumnya pun terjadi. Aku, Wan dan Nisa
bertemu, yang pada saat itu ketika sedang menunggu angkot untuk pulang, tiba-tiba
Nisa memanggilku dan berjalan menghampiriku bersama Wan. “Apa ini? Akankah hari
ini semua yang disembunyikan akan di ungkap?” tanyaku dalam hati.
“Ya?
Ada yang mau di omongin?” tanyaku saat mereka tiba di depanku.
Seketika
suasana hening. Dan aku mengambil inisiatif untuk memulai karena aku tahu apa
yang akan mereka ungkapkan sebelum mereka mengatakan dengan jujur semuanya.
“Mau
bilang kalau kalian sudah jadian? Sudah pacaran? Dan kamu, Wan, udah tahu kalau
Aku selama ini menyukai kamu?” dengan lantang semua itu aku ucapkan dan
lagi-lagi dengan tersenyum aku menyembunyikan bahwa apa yang aku rasakan saat
itu benar-benar sakit. (Betapa dangkalnya ilmu agamaku pada saat itu) L
“Maaf,
Put.” Cuma kata ini yang keluar dari bibir sahabat yang selama ini aku percaya,
(baca = yang awalnya berniat mencoblangkanku dengan Wan).
“Nggak
masalah kok, apa dengan semua kata maaf keadaan akan berpindah alih menjadikan
Wan pacarku? Tidakkan?” ungkapku masih dengan senyuman.
“Maaf
banget ya, Put.” Ucap Wan padaku sembari menjulurkan tangannya.
“Nggak
masalah kok, semua udah nggak ada lagi yang harus di permasalahkan.” Jawabku
sembari menyambut uluran tangannya.
Nisa
tetap terdiam dan menatapku penuh dengan sorotan mata yang artinya aku pun tak
tahu, antara menyesal atau antara kasihan melihatku menangis di dalam hati.
“Udahkan?
Masalah selesai bukan? Selamat ya udah jadian, semoga langgeng.” Ucapku sembari
pamitan kepada mereka sambil menyetop angkot yang lewat dan pulang dengan rasa
kecewa.
Kalian bisa rasakan apa yang aku
rasa? Saat cinta di balas dengan pengkhianatan, baik dari yang dicintai maupun
sahabat sendiri. Dari cinta yang lalu itu, aku belajar pengorbanan, keikhlasan
melepas dan pada akhirnya aku hidup dengan bayang-bayang masa lalu yang
menyebabkan sampai sekarang aku takut jika menaruh cinta tulus kepada yang
mulai aku sukai. Dari kejadian itu pula aku membenci diriku jika aku mulai suka
kepada seseorang, karena apa? Aku takut rasa itu akan mengikis rasa cintaku
kepada Sang Mahacinta. Ternyata bisikan nurani yang kerap kali muncul saat aku
tahu cintaku tak terbalas memang tak
pernah salah, “Cukuplah aku tahu, bahwa Allah tidak mau aku menduakan-Nya.”
Kini, aku pun menyadari, rasa kecewa yang Allah titipkan di dalam dada sampai
saat ini mengajarkanku arti ketulusan, mengajarkanku apa itu mencintai karena-Nya
dan mengajarkanku bahwa pacaran hanyalah satu ladang maksiat penuh dengan keindahan
namun membawa murka-Nya, pun bukan jalan terbaik untuk mengaplikasikan rasa
cinta. Aku tidak mau murka-Nya ada buatku, aku lebih baik sendiri menunggu
sembari memperbaiki diri untuk mendapatkan imam yang shalih daripada harus
menyibukkan diri untuk pacaran dengan orang yang belum tentu menjadi imamku
kelak. Hingga aku putuskan, surat cinta
dan lantunan syair-syair indah yang aku ciptakan dengan penuh cinta hanya akan
aku persembahkan untuk-Nya di setiap sepertiga malamku atau di setiap keindahan
pagi lewat dhuhaku. Allah, izinkan aku tetap istiqomahkan diri untuk meletakkan cinta tertinggiku hanya untuk-Mu
dan izinkan aku menikah tanpa pacaran, sebab aku percaya Engkau telah menetapkan
imamku kelak adalah yang shalih apabila aku disini sibuk dengan menshalihakan
diriku. Terimakasih telah menitipkan luka yang meskipun luka itu sampai
sekarang masih membekas jelas, tapi berkat luka itu aku belajar banyak hal
tentang cinta yang seharusnya aku miliki, yaitu cinta hakiki hanya untuk-Mu,
yang dengan cinta itu hidupku akan lebih indah dan terjaga karena aku adalah
seorang wanita. J Allah, jaga mereka, meskipun mereka
masuk ke dalam daftar nama orang-orang yang membuatku takut jatuh cinta dengan
landasan tulus hingga saat ini...!! J
0 komentar:
Posting Komentar